Kerjasama antar Pemerintah Daerah menurut Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan
Daerah (2009) merupakan bentuk kesepakatan antara gubernur dengan
gubernur, atau gubernur dengan bupati/wali kota, atau antara bupati/wali kota
dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan
pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kerjasama antar pemerintah
daerah di Indonesia. Hal-hal tersebut diatur dalam PP No. 50 Tahun 2007 yang
menjadi pedoman daerah dalam bekerjasama dan mengembangkan potensi daerahnya.
Poin-poin kerjasama antar pemerintah daerah yang perlu disepakati antar subyek
kerjasama (kepala daerah dan/atau pihak ketiga), meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1.
Subjek kerja sama
2.
Objek kerja sama
3.
Ruang lingkup kerja sama
4.
Hak dan kewajiban para pihak
5.
Jangka waktu kerja sama
6.
Pengakhiran kerja sama
7.
Keadaan memaksa
8.
Penyelesaian perselisihan.
Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam surat
perjanjian kerjasama (dapat dalam berbagai bentuk : kesepakatan bersama,
perjanjian bersama, dan lain-lain), yang perlu mendapatkan persetujuan dari
DPRD. Isu-isu strategis yang
berkaitan dengan urgensi kerjasama antar pemerintah daerah (Tarigan, 2009)
adalah :
1.
Peningkatan Pelayanan Publik.
2.
Kawasan Perbatasan.
3.
Tata Ruang
4.
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Potensi
Konflik.
5.
Kemiskinan dan Pengurangan Disparitas Wilayah.
6.
Pemekaran Daerah
Berikut ini merupakan
kendala-kendala dalam Kerjasama Antar Daerah (KAD) (Tarigan, 2009):
1. Belum
ada database yang cukup baik mengenai KAD di seluruh Indonesia
2. Pemerintah
daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD sebagai salah satu inovasi dalam
penyelenggaraan pembangunan.
3. Untuk
daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan untuk bekerjasama
dengan daerah lain, termasuk daerah induk, karena euphoria baru menjadi
sebuah daerah otonom.
4. Di
pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas untuk diseminasikan ke daerah. Selama ini KAD
biasanya terbentuk atas inisiatif daerah sendiri. Masih sangat kurang
fasilitasi atau inisiasi dari pemerintah maupun pemerintah provinsi. Peran
pemerintah sampai saat ini baru dalam bentuk penyusunan PP No. 50 Tahun 2007
mengenai tata cara KAD.
Meskipun demikian, terdapat
beberapa hal yang bisa menjadi potensi
dalam pengembangan Kerjasama Antar Daerah (KAD) kedepan (Tarigan,
2009), yaitu diantaranya:
1. Kerjasama
antar pemerintah daerah biasanya mendapat bobot prioritas paling rendah dari
program-program lain dalam bidang revitalisasi proses desentralisasi dan
otonomi daerah. Meski begitu, baik pemerintah daerah maupun instansi di tingkat
pusat memperkirakan peningkatan KAD ini, pada masa yang akan datang, dapat
menjadi salah satu kunci dalam mengakselerasi pembangunan daerah. Akan tetapi
isu KAD biasanya selalu “kalah” dengan isu lain yang sifatnya lebih pragmatik.
2. KAD
dapat menjadi alternatif dari pemekaran daerah untuk peningkatan pelayanan publik
maupun pengembangan ekonomi wilayah.
3. Sebagian
besar daerah cenderung tidak terlalu memperhatikan KAD biasanya karena daerah
tidak tahu atau tidak menyadari potensi yang bisa dikerjasamakan. Pemerintah
Provinsi bisa berperan dalam hal mengkaji potensi-potensi kerjasama tersebut.
Database “potensi kerjasama” dapat menjadi instrumen yang penting dalam
mendorong kerjasama daerah.
4. Penguatan
peran pemerintah dan pemerintah provinsi dapat dilakukan dalam hal inisiasi,
penyusunan sistem/mekanisme insentif, dan diseminasi best practices untuk
mendorong peningkatan KAD.
5. Selama
ini sudah banyak model pengembangan ekonomi wilayah yang berbasis pada KAD.
Misalnya KAPET, Kawasan Andalan, Kawasan Sentra Produksi, dan sebagainya.
Model-model ini dapat “dihidupkan” kembali atau bahkan dimodifikasi untuk
sektor-sektor lain.
Sedangkan dalam hal
pelayanan publik ada beberapa model kerjasama yang diutarakan ada 5 (lima)
bentuk kerjasama yang dapat dilakukan. Model bentuk Kerjasama Antar Daerah
(KAD), bentuk-bentuk kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam pelayanan publik (Gary
D. Tylor dalam Tarigan, 2009) adalah :
1. Handshake Agreement Dicirikan oleh tidak adanya dokumen
perjanjian kerjasama yang formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen
dan kepercayaan secara politis antar daerah yang terkait.
2. Fee for Service Contracts (service
agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu
daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain.
3. Joint Agreements (pengusahaan
bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya
partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan
atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi
kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap program.
4. Jointly-formed authorities
(Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem
ini lebih populer dengan sebutan sekretariat bersama. Pemda-pemda yang
bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung
jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari
perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum
profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan.
5. Regional Bodies.
Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isu-isu umum
yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan.
Agar berhasil melaksanakan kerjasama
tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (Edralin, 1997 dalam
Keban, 2005). Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan
kerjasama antar Pemda yaitu:
1. Transparansi
2. Akuntabilitas
3. Partisipatif
4. Efisiensi
5. Efektivitas
6. Konsensus
7. Saling menguntungkan dan memajukan.
Comments
Post a Comment