Kadang kita bermimpi, mengharapkan sesuatu
tanpa menyiapkan diri untuk kecewa, terluka, atau terbuang. Karena kadang mimpi
lebih indah dan mudah untuk dibayangkan.
Dalam mimpi segala perasaan tercurahkan, dan logika kita buang
jauh-jauh. Kita mulai terbelenggu dengan impian-impian yang telah kita rancang
sedemikian rupa indahnya. Setiap hari menambahkan sebuah cerita lanjutannya.
Sampai pada suatu titik kita merasa ditarik begitu jauh jauh dari mimpikita.
Seolah mimpi itu berada di layar TV. Kita tidak mampu untuk menyentuhnya,
berteriak sekeras mungkin mimpi itu tidak akan menoleh. Kemudian kita mulai
menangis, kita bahkan tidak bermaksud menangis, tapi air mata itu jatuh dengan
sendirinya.
Kita mempunyai dua pilihan. Pertama terus menatap sedih
mimpi kita itu, dan air mata kita akan terus jatuh dan jatuh. Memandangnya,
melihatnya, mengkhawatirkannya, bahkan kita bisa tersenyum sambil menangis.
Kita tidak bisa membedakan kesedihan kita dan kebahagiannya. Rasanya sama-sama sakit. Kedua kita bisa merusak mimpi itu, melemparkan vas bunga dan
menghancurkan TV itu, hingga kita tidak akan melihat mimpi itu lagi. Mungkin
kita akan merindukannya, merindukan mimpi-mimpi itu sampai dada kita menjadi
cukup sesak untuk bernafas. Sesaat rasa sakit itu bahkan lebih sakit dari pada
memandang mimpi itu di layar TV seumur hidup kita bahkan. Dan sama skali tidak
ada jaminan kita akan bahagia setelahnya,mungkin tidak akan pernah. Tapi
setidaknya kita akan bertemu kenyataan yang tidak terlalu manis itu, tidak
terlalu indah itu, dan akan sangat sulit untuk dijalankan. Tapi kenyataanlah
yang membuat kita semakin kuat, karena mimpi hanya melemahkan diri kita, hati
kita, dan kesadaran kita. Memilih kenyataan bukan untuk menhindar diri kita
untuk terluka, tapi mengembalikan logika kita, kesadaran kita, diri kita yang
sebenarnya.
kadang mimpi belum cukup mampu mengobatii.
ReplyDeleteiyah.....betul betul betul...
Delete